Senin, 01 Februari 2010

Palembang,Sumatera Selatan, my beloved city


Kota Palembang adalah salah satu kota besar di Indonesia yang juga merupakan ibu kota provinsi Sumatera Selatan. Palembang merupakan kota terbesar kedua di Sumatera setelah Medan. Kota ini dahulu pernah menjadi pusat Kerajaan Sriwijaya, sebelum kemudian berpindah ke Jambi. Bukit Siguntang, di bagian barat Kota Palembang, hingga sekarang masih dikeramatkan banyak orang dan dianggap sebagai bekas pusat kesucian di masa lalu.

Palembang merupakan kota tertua di Indonesia, hal ini didasarkan dari prasasti Kedukan Bukit yang diketemukan di Bukit Siguntang sebelah barat Kota Palembang, yang menyatakan pembentukan sebuah wanua yang ditafsirkan sebagai kota yang merupakan ibukota Kerajaan Sriwijaya pada tanggal 16 Juni 682 Masehi. Maka tanggal tersebut dijadikan patokan hari lahir Kota Palembang.

Kota ini diserang beberapa kali oleh kekuatan asing, dimana kerusakan terparah terjadi saat penyerangan pasukan Jawa tahun 990 dan invasi kerajaan Chola tahun 1025. Namun sekarang kota ini tengah berbenah dan semakin mempercantik diri untuk menjadi sebuah kota internasional.

Palembang merupakan kota tertua di Indonesia, hal ini didasarkan pada prasasti Kedukan Bukit (683 M) yang diketemukan di Bukit Siguntang, sebelah barat Kota Palembang, yang menyatakan pembentukan sebuah wanua yang ditafsirkan sebagai kota yang merupakan ibukota Kerajaan Sriwijaya pada tanggal 16 Juni 683 Masehi (tanggal 5 bulan Ashada tahun 605 syaka). Maka tanggal tersebut dijadikan patokan hari lahir Kota Palembang.

Batu-bersurat (prasasti) itu ditemukan oleh Controleur Batenberg di tepi sungai Kedukan Bukit, yakni diantara Bukit Seguntang dengan Situs Karanganyar pada tahun 1926 dengan menggunakan huruf Pallawa dan bahasa Melayu kuno. Prasasti tersebut oleh penduduk kampung Kedukan Bukit waktu itu dijadikan semacam tumbal bila akan mengikuti lomba Bidar, yakni dengan cara meletakkan di haluan Bidar yang akan diperlombakan. Konon, Bidar atau Perahu yang digentoli dengan batu “sakti-bertuah” itu senantiasa menang berlomba. Kemudian Batu-bersurat Kedukan Bukit itu ditelaah oleh para pakar sejarah dan kebudayaan, diantaranya Prof. M. Yamin yang menyatakan, itulah proklamasi (penggalian/pemindahan) ibukota Sriwijaya (dari tempat lain) ke Bukit Seguntang.

Prasasti Kedukan Bukit itu berbunyi sebagai berikut:

(1) Swasti cri cakawarsatita 605 ekadaci cu (2) klapaksa wulan waicakha dapunta hiyang nayik di (3) samwau manalap siddhayatra disaptami cuklapaksa (4) wulan jyesta dapunta hiyang marlapas dari Minanga (5) Tamvan mamawa yam wala dualaksa danan koca (6) duaratus cara di samwau danan jalan sariwu (7) tluratus sapulu dua wannakna datam di Mukha Upang (8) Sukhacitta di pancami cuklapaksa wulan (9) laghu mudita datam marwuat wanua (10) Criwijava siddhayatra subhiksa.

[Bacaan Prof. Poerbacaraka, G. Coedes, Prof. Dr. Ph.S. Van Ronkel Dr. Buchari, Prof. Slametmulyana]

Kota Palembang juga dipercayai oleh masyarakat melayu sebagai tanah leluhurnya. Karena di kota inilah tempat turunnya cikal bakal raja Melayu pertama yaitu Parameswara yang turun dari Bukit Siguntang. Kemudian Parameswa meninggalkan Palembang bersama Sang Nila Utama pergi ke Tumasik dan diberinyalah nama Singapura kepada Tumasik. Sewaktu pasukan Majapahit dari Jawa akan menyerang Singapura, Parameswara bersama pengikutnya pindah ke Malaka disemenanjung Malaysia dan mendirikan Kerajaan Malaka. Beberapa keturunannya juga membuka negeri baru di daerah Pattani dan Narathiwat (sekarang wilayah Thailand bagian selatan). Setelah terjadinya kontak dengan para pedagang dan orang-orang Gujarat dan Persia di Malaka, maka Parameswara masuk agama Islam dan mengganti namanya menjadi Sultan Iskandar Syah.

Berbicara mengenai asal usul kota Palembang, memang tidak bisa dilepaskan dari sejarah perkembangan kerajaan Sriwijaya, yang pernah menjadikan kota Palembang sebagai ibukotanya. Kejayaan Sriwijaya seolah-olah diturunkan kepada Kesultanan Palembang Darusallam pada zaman madya sebagai kesultanan yang disegani dikawasan Nusantara. Palembang pernah berfungsi sebagai pusat kerajaan Sriwijaya dari abad ke-7 (tahun 683 Masehi) hingga sekitar abad ke-12 di bawah Wangsa Sailendra/Turunan Dapunta Salendra dengan Bala Putra Dewa sebagai Raja Pertama. Pada abad ke-17 kota Palembang menjadi ibukota Kesultanan Palembang Darussalam yang diproklamirkan oleh Pangeran Ratu Kimas Hindi Sri Susuhanan Abdurrahman Candiwalang Khalifatul Mukminin Sayidul Iman (atau lebih dikenal Kimas Hindi/Kimas Cinde) sebagai sultan pertama (1643-1651), terlepas dari pengaruh kerajaan Mataram (Jawa). Tanggal 7 Oktober 1823 Kesultanan Palembang dihapuskan oleh penjajah Belanda dan kota Palembang dijadikan Komisariat di bawah Pemerintahan Hindia Belanda (kontrak terhitung 18 Agustus 1823), dengan Commisaris Sevenhoven sebagai pejabat Pemerintah Belanda pertama. Kemudian kota Palembang dijadikan Gameente/haminte berdasarkan stbld. No. 126 tahun 1906 tanggal 1 April 1906 hingga masuknya Jepang tanggal 16 Februari 1942. Palembang Syi yang dipimpin Syi-co (Walikota) berlangsung dari tahun 1942 hingga kemerdekaan RI. Berdasarkan keputusan Gubernur Kdh. Tk. I Sumatera Selatan No. 103 tahun 1945, Palembang dijadikan Kota Kelas A. Berdasarkan Undang-Undang No. 22 Tahun 948, Palembang dijadikan Kota Besar. Berdasarkan Undang-Undang No. 18 Tahun 1965, Palembang dijadikan Kotamadya. Berdasarkan Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 tanggal 23 Juli 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah, Palembang dijadikan Kotamadya Daerah Tingkat II Palembang.

Arti NAma Palembang

Nama Palembang banyak mempunyai arti. Pengertian yang mendekati kenyataan adalah apa yang diterjemahkan oleh R.J.Wilkinson dalam kamusnya ‘A Malay English Dictionary’ (Singapore, 1903): lembang adalah tanah yang berlekuk, tanah yang rendah, akar yang membengkak karena terendam lama di dalam air. Menurut Kamus Dewan (karya Dr. T.Iskandar, Dewan Bahasa dan Pustaka, 1986), lembang berarti lembah, tanah lekuk, tanah yang rendah. Untuk arti lain dari lembang adalah tidak tersusun rapi, terserak-serak. Sedangkan menurut bahasa Melayu, lembang berarti air yang merembes atau rembesan air. Arti Pa atau Pe menunjukkan keadaan atau tempat.

Menurut I.J. van Sevenhoven (Lukisan tentang Ibukota Palembang, Bhratara, Jakarta, 1971, hlm. 12), Palembang berarti tempat tanah yang dihanyutkan ke tepi, sedangkan Stuerler menerjemahkan Palembang sebagai tanah yang terdampar. Pengertian Palembang tersebut kesemuanya menunjukkan tanah yang berair. lni tidak jauh dari kenyataan yang ada, bahkan pada saat sekarang, yang dibuktikan oleh data statistik tahun 1990, bahwa masih terdapat 52,24% tanah yang tergenang di kota Palembang. Sebagai catatan tambahan, di Kotamadya sekarang ini masih tercatat sebanyak 117 buah anak-anak sungai yang mengalir di tengah kota.

Kondisi alam ini bagi nenek moyang orang-orang Palembang menjadi modal mereka untuk memanfaatkannya. Air menjadi sarana transportasi yang sangat vital, ekonomis, efisien dan punya daya jangkau dan punya kecepatan yang tinggi. Selain kondisi alam, juga letak strategis kota ini yang berada dalam satu jaringan yang mampu mengendalikan lalu lintas antara tiga kesatuan wilayah:

  • Tanah tinggi Sumatera bagian Barat, yaitu : Pegunungan Bukit Barisan
  • Daerah kaki bukit atau piedmont dan pertemuan anak-anak sungai sewaktu memasuki dataran rendah
  • Daerah pesisir timur laut

Ketiga kesatuan wilayah ini merupakan faktor setempat yang sangat menentukan dalam pembentukan pola kebudayaan yang bersifat peradaban.

Kapan Nama Palembang ‘Lahir’?

Kapan nama Palembang “lahir” tepatnya belum dapat diperkirakan. Apakah nama ini lahir sejak Sriwijaya runtuh atau sebaliknya nama Palembang lahir lebih dahulu sebelum nama Sriwijaya “lahir”. Dari sumber Cina, yaitu kronik Chu-fan-chi, karya Chau Ju-kua tahun 1225, disebutkan nama Pa-lin-fong (Palembang), adalah salah satu bawahan San-fo-tsi.

Wang Ta-yuan dalam catatan perjalanannya Tao-i chih-lio (1349-1350), membedakan antara San-fo-tsi dengan Ku-kang (Kiu-Kiang), yaitu dua buah nama dan tempat yang berbeda. Menurut Ma-huan dalam Ying-yai-Sheng-lan ditulis tahun 1416, menyatakan bahwa Ku-kang adalah negeri yang dahulunya disebut San-fo-tsi (San-bo-tsai).

Dari kronik-kronik Cina, sebagian mengatakan bahwa pengertian San-fo-tsi dapat berarti Palembang dan juga Jambi. J.L.Moens mempertegas bahwa yang disebut kerajaan San-fo-tsi bukan hanya satu kerajaan saja, dia menyarankan bahwa ahli sejarah harus membedakan “San-fo-tsi Palembang” dan “San-fo-tsi Melayu”. Sayangnya J.L. Moens tidak tuntas menyelesaikannya.

Banyak penulis sejarah berpendapat kekeliruan penulisan Cina karena San-fo-tsi (Suarnabhumi atau Pulau Emas) dengan hanya menyebutkan nama pulaunya saja, tidak mendetil dengan nama-nama kerajaan di bagian pulau tersebut.

Nama Palembang pada zaman klasik, selain dalam catatan kronik Cina, juga tertulis dalam Nagarakertagama karangan Prapanca pada tahun 1365. Di dalam Pupuh XIII disebutkan negara-negara bawahan Majapahit di daerah Melayu adalah; Jambi, Palembang, Dharmasraya, Toba dan seterusnya.

Setelah zaman Islam nama Palembang menjadi populer dengan dimuatnya di dalam Babad Tanah Jawi (1680) dan Sejarah Melayu (1612). Sejarah Melayu aslinya ditulis sekitar tahun 1511, ditulis kembali dari pelbagai versi, antaranya oleh Abdullah ibn Abdulkadir Munsyi yang menulis kembali teks tahun 1612. Teks yang menceritakan Palembang dari Sejarah Melayu:

….. ada sebuah negeri di tanah Andalas, Perlembang namanya, Demang Lebar Daun nama rajanya, asalnya daripada anak-cucu Raja Sulan; Muara Tatang nama sungainya. Adapun negeri Perlembang itu, Palembang yang ada sekarang inilah. Maka Muara Tatang itu ada sebuah sungai, Melayu namanya; di dalam sungai itu ada sebuah bukit Seguntang Mahameru namanya.

Wallahua’lam

Bentuk dan Susunan Kota Palembang

Pada abad ke-12 dan 13 kota Palembang digambarkan oleh catatan Cina (Chau Ju-kua, hlm 60):
Penduduknya tinggal terpencar di luar kota, atau mereka tinggal di rakit di atas air, suatu tempat tinggal yang lantainya terdiri dari bambu. Mereka dibebaskan dari segala bentuk pajak.

Selanjutnya menurut Yeng-yai sheng-lan-chiao-chu (Ma Huan Ying-yai Sheng-lan, hlm 99):
Tempat ini dikelilingi oleh air dan tanah kering sedikit sekali. Para pemimpin semuanya tinggal di rumah-rumah yang dibuat di atas tanah yang kering di pinggiran sungai. Rumah-rumah rakyat biasa terpisah dari rumah pernimpin, mereka semua tinggal di atas rumah-rumah rakit yang diikatkan pada tiang di tepian dengan tali. Apabila air pasang, rakit akan terangkat dan tak akan tenggelam. Seandainya penduduk akan pindah ke tempat lain, mereka memindahkan tiang dan menggerakkan rumahnya sendiri tanpa mengalami banyak kesulitan. Di dekat muara sungai, pasang dan surut terjadi 2 kali dalam sehari dan semalam.

Gambaran hidup di atas sungai di dalam abad ke-19 digambarkan juga oleh Alfred Wallace Russel (The Malay Archipelago, Dover Publ, New York 1962 hlm 94):
Penduduknya adalah orang Melayu tulen, yang tak akan pernah membangun sebuah rumah di atas tanah kering selagi mereka masih melihat dapat membuat rumah di atas air, dan tak akan pergi ke mana-mana dengan berjalan kaki, selagi masih dapat dicapai dengan perahu.

Berapa luas kota Palembang tersebut dapat dilihat catatan pelaut Arab Abu Zaid Hasan (Voyage du marchand arabe Sulayman en Inde et en Chine, redige en 851, suivi de remarques par Abu Zayd Hasan (vers 916)) di abad ke-10, mencatat beberapa gosip para pedagang bahwa “pantas dapat dipercaya bahwa luas kota ini didengar dari kokok ayam di waktu subuh dan terus menerus berkokok bersahutan dengan ayam jantan lainnya yang berjarak lebih dari 100 prasang (satu prasang kurang lebih 6,25 km), karena kampungnya berkesinambungan satu sama lain tanpa terputus.”

Apa yang dicatat oleh pelaut Arab tersebut, tidak jauh dari anekdot yang dicatat oleh pelapor Belanda, L.C.Westenenk; bahwa besarnya batas kota ini digambarkan bagaimana seekor kucing dapat berjalan tanpa memijak tanah dari Palembang Lama ke Batanghari Leko, karena melompat dari satu atap ke atap rumah-rumah penduduk.

Dapat pula dibayangkan besarnya kota Palembang pada awal Sriwijaya dari ukuran jarak kedudukan Prasasti Kedukan Bukit (683 M) yang berada di tengah-tengah, sedangkan di ujung timurnya terdapat Prasasti Telaga Batu (kampung 2 ilir, di belakang PUSRI). Di ujung baratnya terdapat prasasti Talang Tuo (masuk kecamatan Talang Kelapa); yaitu prasasti pendirian taman oleh Sri Jayanasa.

Catatan Perkembangan Kota Palembang

Runtuhnya Sriwijaya di sekitar abad ke-12 dan 13, seolah-olah tidak ada kesinambungan Sejarah dengan “kelahiran” Palembang. Palembang memulai lembaran catatannya dengan Sejarah Melayu, yaitu saat Sang Sapurba, yang berpuyang dengan Iskandar Zulkarnain, turun di atas Bukit Seguntang Mahameru. Tokoh setengah dewa ini membuat “kontrak” atau “perjanjian awal” dengan penguasa Demang Lebar Daun, untuk menjadi penguasa dan menurunkan kekuasaan kepada raja-raja Melayu, yang mempunyai garis keturunannya. Kekuasaan ini berkembang di Malaka, yang pada gilirannya menurunkan raja-raja Melayu baik di Semenanjung Malaka, Sumatera dan kepulauan Riau.

Lembaran kedua catatan Palembang datang dari babad/sejarah Jawa, termasuk Banten dan Cirebon. Babad yang paling mempengaruhi lembaran catatan Palembang adalah Babad Tanah Jawi. Lembaran ini mengetengahkan Aria Damar dan Raden Fatah. Kedua tokoh legendaris ini mengikat masa lampau Palembang dengan masa madyanya, antara Majapahit, Demak dan Palembang. Dari kedua tokoh ini kharisma Majapahit diturunkan melalui Demak kepada penguasa Palembang, dalam bentuk garis-garis silsilah penguasanya. Memantapkan silsilahnya, maka tokoh orang-orang suci seperti Walisongo dan para Nabi menjadi garis ke atas dari silsilah penguasa Palembang. Oleh karena itu tidaklah heran garis-garis keturunan Palembang kaya sekali dengan pelbagai akar silsilah, di mana dapat kita baca pada saat perjalanan sejarah elit Melayu-Jawa memerintah di Palembang sejak paruh kedua abad ke-16.

Sebaliknya lembaran catatan daerah setempat, yaitu khususnya di daerah pedalaman Palembang, terdapat perkawinan antara yang berpuyang dengan Iskandar Zulkarnain, lewat Bukit Seguntang, dengan Majapahit, melalui Aria Damar. Muncul tokoh-tokoh yang namanya berbaur dan berciri Melayu-Jawa, di dalam akar silsilah mereka. Silsilah ini tertulis pada lontar, bambu atau secara tutur. Pengaruh budaya Melayu dan Jawa sampai sekarang pun masih bisa dibuktikan. Sebagai contohnya adalah bahasa, seperti pemakain kata “lawang (pintu)”, “gedang (pisang)”, “jabo (luar)” dan masih banyak lagi. Gelar kebangsawanan pun bercorak demikian, seperti pemakaian gelar Raden Mas atau Raden Ayu. Makam-makam peninggalan masa Islam dan beberapa Masjid pun tidak berbeda bentuk dan coraknya dengan makam-makam Islam dan arsitek Masjid di Jawa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar