Rabu, 06 Oktober 2010

Kepadatan (Density)


Kepadatan atau density ini ternyata mendapat perhatian yang serius dari ahli-ahli psikologi lingkungan. Menurut Sundstrom (dalam Wrightsman & Deaux, 1981) kepadatan adalah sejumlah manusia dalam setiap unit ruangan. Atau sejumlah individu yang berada di suatu ruang atau wilayah tertentu dan lebih bersifat fisik (Holahan, 1982; Heimstra dan McFaring, 1978; Stokols dalam Schmidt dan Keating, 1978). Suatu keadaan akan dikatakan semakin padat bila jumlah manusia pada suatu batas ruang tertentu semakin banyak dibandingkan dengan luas ruangannya (Sarwono, 1992).

Penelitian tentang kepadatan pada manusia berawal dari penelitian terhadap hewan yang dilakukan oleh John Calhoun. Penelitian Calhoun (dalam Worche dan Cooper, 1983) ini bertujuan untuk mengetahui dampak negatif kepadatan dengan menggunakan hewan percobaan tikus. Hasil penelitian ini menunjukkan adanya perilaku kanibal pada hewan tikus seiring dengan bertambahnya jumlah tikus. Secara terinci hasil penelitian Calhoun (dalam Setadi, 1991) menunjukkan hal-hal sebagai berikut:

Pertama, dalam jumlah yang tidak padat (kepadatan rendah), kondisi fisik dan perilaku tikus berjalan normal. Tikus-tikus tersebut dapat melaksanakan perkawinan, membuat sarang, melahirkan, dan membesarkan anaknya seperti halnya kehidupan alamiah. Kedua, dalam kondisi kepadatan tinggi dengan pertumbuhan populasi yang tak terkendali, ternyata memberikan dampak negatif terhadap tikus-tikus tersebut. Terjadi penurunan fisik pada ginjal, otak, hati, dan jaringan kelenjar, serta penyimpangan perilaku seperti hiperaktif, homoseksual, dan kanibal. Akibat keseluruhan dampak negatif tersebut menyebabkan penurunan kesehatan dan fertilitas, sakit, mati, dan penurunan populasi.

Selain itu pengamatan yang dilakukan oleh Dubos (dalam Setiadi, 1991) terhadap jenis tikus Norwegia, menunjukkan bahwa apabila jumlah kelompok telah terlalu besar (over populated), maka terjadi penyimpangan perilaku tikus-tikus itu dengan menceburkan diri ke laut. Hal ini diakibatkan oleh tidak berfungsinya otak secara wajar karena kepadatan tinggi tersebut. Tentu saja hasil penelitian terhadap hewan ini tidak dapat diterapkan pada manusia secara langsung karena manusia mempunyai akal dan norma dalam hidup bermasyakarat. Oleh karena itu, untuk penelitian kepadatan pada manusia cenderung didasarkan pada data sekunder yaitu data-data yang sudah ada, dari data-data tersebut diamati gejala-gejala yang sering muncul dalam masyarakat.

Penelitian terhadap manusia yang pernah dilakukan oleh Bell (dalam Setiadi, 1991) mencoba memerinci: bagaimana manusia merasakan dan bereaksi terhadap kepadatan yang terjadi; bagaimana dampaknya terhadap tingkah laku sosial; dan bagaimana dampaknya terhadap task performance (kinerja tugas)?

Hasilnya memperlihatkan ternyata banyak hal-hal yang negatif akibat dari kepadatan:

1. ketidaknyamanan dan kecemasan, peningkatan denyut jantung dan tekanan darah, hingga terjadi penurunan kesehatan atau peningkatan pada kelompok manusia tertentu.

2. peningkatan agresivitas pada anak-anak dan orang dewasa (mengikuti kurva linear) atau menjadi sangat menurun (berdiam diri/murung) bila kepadatan tinggi sekali (high spatial density). Juga kehilangan minat berkomunikasi, kerjasama, dan tolong-menolong sesama anggota kelompok.

3. terjadi penurunan ketekunan dalam pemecahan persoalan atau pekerjaan. Juga penurunan hasil kerja terutama pada pekerjaan yang menuntut hasil kerja yang kompleks.

Dampak negatif kepadatan lebih berpengaruh terhadap pria atau dapat dikatakan bahwa pria lebih memiliki perasaan negatif pada kepadatan tinggi bila dibandingkan wanita. Pria juga bereaksi lebih negatif terhadap anggota kelompok, baik pada kepadatan tinggi ataupun rendah dan wanita justru lebih menyukai anggota kelompoknya pada kepadatan tinggi.

Pembicaraan tentang kepadatan tidak akan terlepas dari masalah kesesakan. Kesesakan atau crowding merupakan persepsi individu terhadap keterbatasan ruang, sehingga lebih bersifat psikis (Gifford, 1978; Schmidt dan Keating, 1979; Stokois dalam Holahan, 1982). Kesesakan terjadi bila mekanisme privasi individu gagal berfungsi dengan baik karena individu atau kelompok terlalu banyak berinteraksi dengan yang lain tanpa diinginkan individu tersebut (Altman, 1975). Menurut Altman (1975), Heimstra dan McFarling (1978) antara kepadatan dan kesesakan memiliki hubungan yang erat karena kepadatan merupakan salah satu syarat yang dapat menimbulkan kesesakan, tetapi bukan satu-satunya syarat yang dapat menimbulkan kesesakan. Kepadatan yang tinggi dapat emngakibatkan kesesakan pada individu (Heimstra dan McFarling, 1978; Holahan, 1982).

Baum dan Paulus (1987) menerangkan bahwa proses kepadatan dapat dirasakan sebagai kesesakan atau tidak dapat ditentukan oleh penilaian individu berdasarkan empat faktor:

a. Karakteristik seting fisik.

b. Karakteristik seting sosial.

c. Karakteristik personal.

d. Kemampuan beradaptasi.

Keempat faktor ditambah dengan kepadatan tersebut dapat dirangkum pada gambar berikut:




Gambar Diagram Proses Kepadatan Menjadi Kesesakan

Sumber: Baum dan Paulus (1987)

Berdasarkan keterangan dan gambar di atas, maka dapat disimpulkan bahwa hubungan antara kepadatan dan kesesakan bukalah suatu hubungan sebab-akibat, melainkan kepadatan merupakan salah satu syarat terjadinya kesesakan. Berikut ini akan dibahas kategori kepadatan dan akibat-akibat kepadatan tinggi.

1. Kategori Kepadatan

Menurut Altman (1975), di dalam studi sosiologi sejak tahun 1920-an, variasi indikator kepadatan berhubungan dengan tingkah laku sosial. Variasi indikator kepadatan itu meliputi jumlah individu dalam sebuah kota, jumlah individu pada daerah sensus, jumlah individu pada unit tempat tinggal, jumlah ruangan pada unit tempat tinggal, jumlah bangunan pada liingkungan sekitar dan lain-lain. Sedangkan Jain (1987) berpendapat bahwa tingkat kepadatan penduduk akan dipengaruhi oleh unsur-unsur yaitu jumlah individu pada setiap ruang, jumlah ruang pada setiap unit rumah tinggal, jumlah unit rumah tinggal pada setiap struktur hunian dan jumlah struktur hunian pada setiap wilayah pemukiman. Hal ini berarti bahwa setiap pemukiman memiliki tingkat kepadatan yang berbeda tergantung dari konstribusi unsur-unsur tersebut.

Kepadatan dapat dibedakan ke dalam beberapa kategori. Holahan (1982) menggolongkan kepadatan ke dalam dua kategori, yaitu kepadatan spasial (spatial density) yang terjadi bila besar atau luas ruangan diubah menjadi lebih kecil atau sempit sedangkan jumlah individu tetap, sehingga didapatkan kepadatan meningkat sejalan menurunnya besar ruang, dan kepadatan sosial (social density) yang terjadi bila jumlah individu ditambah tanpa diiringi dengan penambahan besar atau luas ruangan sehingga didapatkan kepadatan meningkat sejalan dengan bertambahnya individu. Altman (1975) membagi kepadatan menjadi kepadatan dalam (inside density) yaitu sejumlah individu yang berada dalam suatu ruang atau tempat tinggal seperti kepadatan di dalam rumah, kamar; dan kepadatan luar (outside density) yaitu sejumlah individu yang berada pada suatu wilayah tertentu, seperti jumlah penduduk yang bermukim di suatu wilayah pemukiman.

Jain (1987) menyatakan bahwa setiap wilayah pemukiman memiliki tingkat kepadatan yang berbeda dengan jumlah unit rumah tinggal pada setiap struktur hunian dan struktur hunian pada setiap wilayah pemukiman. Sehingga suatu wilayah pemukiman dapat dikatakan mempunyai kepadatan tinggi atau kepadatan rendah.

Zlutnick dan Altman (dalam Altman, 1975: Holahan, 1982) menggambarkan sebuah model dua dimensi untuk menunjukkan beberapa macam tipe lingkungan pemukiman, yaitu:

(1) Lingkungan pinggiran kota, yang ditandai dengan tingkat kepadatan luar dan kepadatan dalam yang rendah;

(2) Wilayah desa miskin di mana kepadatan dalam tinggi sedangkan kepadatan luar rendah; dan

(3) Lingkungan Mewah Perkotaan, di mana kepadatan dalam rendah sedangkan kepadatan luar tinggi;

(4) Perkampungan Kota yang ditandai dengan tingkat kepadatan luar dan kepadatan dalam yang tinggi.



KEPADATAN DALAM



Rendah

Tinggi

KEPADATAN LUAR

Rendah

Lingkungan pinggiran kota

Wilayah desa miskin

Tinggi

Lingkungan mewah perkotaan

Perkampungan kota

Gambar 2.3. Profil Kepadatan Menurut Zlutnik dan Altman

Sumber: Altman (1975)

Taylor (dalam Gifford, 1982) mengatakan bahwa lingkungan sekitar dapat merupakan sumber yang penting dalam mempengaruhi sikap, perilaku dan keadaan internal seseorang di suatu tempat tinggal. Oleh karena itu individu yang bermukim di pemukiman dengan kepadatan yang berbeda mungkin menunjukkan sikap dan perilaku yang berbeda pula.

2. Akibat-akibat Kepadatan Tinggi

Pada bagian sebelumnya telah disajikan secara singkat beberapa bahasan mengenai akibat-akibat kepadatan tinggi, terutama pada penelitian pendahuluan pada binatang dan penelitian lanjutan pada manusia.

Menurut Heimstra dan Mc Farling (1978) kepadatan memberikan akibat bagi manusia baik secara fisik, sosial maupun psikis. Aikbat secara fisik yaitu reaksi fisik yang dirasakan individu seperti peningkatan detak jantung, tekanan darah, dan penyakit fisik lain (Heimstra dan McFarling, 1978).

Akibat secara sosial antara lain adanya masalah soail yang terjadi dalam masyarakat seperti meningkatnya kriminalitas dan kenakalan remaja (Heimstra dan McFarling, 1978; Gifford, 1987).

Akibat secara psikis antara lain:

a. Stres, kepadatan tinggi dapat menumbuhkan perasaan negatif, rasa cemas, stres (Jain, 1987) dan perubahan suasana hati (Holahan, 1982).

b. Menarik diri, kepadatan tinggi menyebabkan individu cenderung untuk menarik diri dan kurang mau berinteraksi dengan lingkungan sosialnya (Heimstra dan McFaring, 1978; Holahan, 1982; Gifford, 1987).

c. Perilaku menolong (perilaku prososial), kepadatan tinggi juga menurunkan keinginan individu untuk menolong atau memberi bantuan pada orang lain yang membutuhkan, terutama orang yang tidak dikenal (Holahan 1982; Fisher dkk., 1984).

d. Kemampuan mengerjakan tugas, situasi padat menurunkan kemampuan individu untuk mengerjakan tuga-tugasnya pada saat tertentu (Holahan, 1982).

e. Perilaku agresi, situasi padat yang dialami individu dapat menumbuhkan frustasi dan kemarahan, serta pada akhirnya akan terbentuk perilaku agresi (Heimstra dan McFaring, 1978; Holahan, 1982).


Tidak ada komentar:

Posting Komentar