Rabu, 07 Juli 2010

Perilaku dalam Arsitektur_Kesesakan

Menurut Altman (1975), kesesakan adalah suatu proses interpersonal pada suatu tingkatan interaksi manusia satu dengan lainnya dalam suatu pasangan atau kelompok kecil. Perbedaan pengertian antara crowding (kesesakan) dengan density (kepadatan) sebagaimana yang telah dibahas terdahulu tidaklah jelas benar, bahkan kadang-kadang keduanya memiliki pengertian yang sama dalam merefleksikan pemikian secara fisik dari sejumlah manusia dalam suatu ksatuan ruang.

Stokols (dalam Altman, 1975) membedakan antara kesesakan bukan sosial (nonsocial crowding) yaitu dimana faktor-faktor fisik menghasilkan perasaan terhadap ruang yang tidak sebanding, seperti sebuah ruang yang sempit, dan kesesakan sosial (social crowding) yaitu perasaan sesak mula-mula datang dari kehadiran orang lain yang terlalu banyak. Stokols juga menambahkan perbedaan antara kesesakan molekuler dan molar. Kesesakan molar (molar crowding) yaitu perasaan sesak yang dapat dihubungkan dengan skala luas, populasi penduduk kota, sedangkan kesesakan molekuler (molecular crowding) yaitu perasaan sesak yang menganalisa mengenai individu, kelompok kecil dan kejadian-kejadian interpersonal.

Morris (dalam Iskandar, 1990) memberi pengertian kesesakan sebagai defisit suatu ruangan. Hal ini berarti bahwa dengan adanya sejumlah orang dalam suatu hunian rumah, maka ukuran per meter persegi setiap orangnya menjadi kecil, sehingga dirasakan adanya kekurangan ruang. Dalam suatu unit hunian, kepadatan ruang harus diperhitungkan dengan mebel dan peralatan yang diperlukan untuk suatu aktivitas. Oleh karenanya untuk setiap ruang akan memerlukan suatu ukuran standar ruang yang berbeda, karena fungsi dari ruang itu berbeda.

Adapun kesesakan dikatakan sebagai keadaan motivasional yang merupakan interaksi dari faktor spesial, sosial dan personal, dimana pengertiannya adalah persepsi individu terhadap keterbatasan ruang sehingga hal yang berkaitan dengan keterbatasan ruang disini kemudian diartikan sebagai suatu kekurangan.

Pendapat lain datang dari Rapoport (dalam Stokols dan Altman, 1987) yang mengatakan kesesakan adalah suatu evaluasi subjetif dimana besarnya ruang dirasa tidak mencukupi, sebagai kelanjutan dari persepsi langsung terhadap ruang yang tersedia.

Kesimpulan yang dapat diambil adalah pada dasarnya batasan kesesakan melibatkan persepsi seseorang terhadap keadaan ruang yang dikaitkan dengan kehadiran sejumlah manusia, dimana ruang yang tersedia dirasa terbatas atau jumlah manusianya yang dirasa terbatas atau jumlah manusianya yang dirasa terlalu banyak.

Berikut ini akan dibahas faktor-faktor yang mempengaruhi kesesakan dan pengaruh kesesakan terhadap perilaku.

1. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Kesesakan

Terdapat tiga faktor yang mempengaruhi kesesakan yaitu: personal, sosial, dan fisik, yang akan dibahas satu persatu.

Faktor Personal. Faktor personal terdiri dari kontrol pribadi dan locus of control; budaya, pengalaman, dan proses adaptasi; serta jenis kelamin dan usia.

a) Kontrol pribadi dan locus of control

Seligman dan kawan-kawan (dalam Worchel dan Cooper, 1983) mengatakan bahwa kepadatan tinggi baru akan menghasilkan kesesakan apabila individu sudah tidak mempunyai kontrol terhadap lingkungan disekitarnya, sehingga kesesakan dapat dikurangi pengaruhnya bila individu tersebut memainkan peran kontrol priba di dalamnya.

Individu yang mempunyai locus of control internal, yaitu kecenderungan individu untuk mempercayai (atau tidak mempercayai) bahwa keadaan yang ada di dalam dirinyalah yang berpengaruh terhadap kehiduapnnya, diharapkan dapat mengendalikan kesesakan yang lebih baik daripada individu yang mempunyai locus of control eksternal (Gifford, 1987).

b) Budaya, pengalaman, dan proses adaptasi

Suatu penelitian yang dilakukan oleh Nasar dan Min (dalam Gifford, 1987), yang mencoba membandingkan kesesakan yang dialami oleh orang Asia dan orang Mediterania yang tinggal di asrama yang sama di Amerika Utara, menemukan adanya perbedaan persepsi terhadap kesesakan pada individu dengan latar belakang budaya yang berbeda, dimana orang Mediterania merasa lebih sesak daripada orang Asia. Sundstrom (dalam Giffrod, 1987) mengatakan bahwa pengalaman pribadi dalam kondisi padat dimana kesesakan terjadi dapat mempengaruhi dapat mempengaruhi tingkat toleransi individu terhadap tres akibat kesesakan yang dialami. Tingkat toleransi akibat adaptasi ini berguna bila individu diharapkan pada situasi yang baru.

Menurut Yusuf (1991) keadaan-keadaan kepadatan yang tinggi yang menyebabkan kesesakan justru akan menumbuhkan kreativitas-kreativitas manusia untuk melakukan intervensi sebagai upaya untuk menekan perasaan sesak tersebut. Pada masyarakat Jepang, upaya untuk menekan situasi kesesakan adalah dengan membangun rumah yang ilustratif, yang dindingnya dapat dipisah-pisahkan sesuai dengan kebutuhan sesaat, serta untuk mensejajarkan keadaannya dengan ruang dan wilayah yang tersedia. Pola ini memiliki beberapa kegunaan sesuai dengan kebutuhan sosial penghuninya, seperti untuk makan, tidur, dan rekreasi. Volume dan konfigurasi tata ruang adalah fleksibel, sehingga dapat diubah-ubah sesuai kebutuhan dalam upayanya untuk menekan perasaan sesak.

Faktor Sosial. Menurut Giffrod (1987) secara personal individu dapat lebih banyak atau lebih sedikit mengalami kesesakan cenderung dipengaruhi oleh karakteristik yang sudah dimiliki. Akan tetapi pengaruh orang lain dalam lingkungan dapat juga memperburuk keadaan akibat kesesakan. Faktor-faktor sosial yang berpengaruh tersebut adalah:

a) Kehadiran dan perilaku orang lain

Kehadiran orang lain akan menimbulkan perasaan sesak bila individu merasa terganggu dengan kehadiran orang lain.

b) Formasi koalisi

Keadaan ini didasari pada pendapat yang mengatakan bahwa meningkatnya kepadatan sosial akan dapat meningkatkan kesesakan. Karenanya banyak penelitian yang menemukan akibat penambahan teman sekamar (dari satu menjadi dua orang teman) dalam asrama sebagai suatu keadaan yang negatif. Keadaan negatif yang muncul berupa tres, perasaan tidak enak, dan kehilangan kontrol, yang disebabkan karena terbentuknya koalisi di satu pihak dan seorang yang terisolasi di lain pihak (Giffrod, 1987).

c) Kualitas hubungan

Kesesakan menurut penelitian yang dilakukan oleh Schaffer dan Patterson (dalam Giffrod, 1987) sangat dipengaruhi oleh seberapa baik seorang individu dapat bergaul dengan orang lain. Individu yang percaya bahwa orang lain mempunyai pandangan yang sama dengan dirinya merasa kurang mengalami kesesakan bila berhubungan dengan orang-orang tersebut.

d) Informasi yang tersedia

Kesesakan juga dipengaruhi oleh jumlah dan bentuk informasi yang muncul sebelum dan selama mengalami keadaan yang padat. Individu yang tidak mempunyai informasi tentang kepadatan merasa lebih sesak daripada individu yang sebelumnya sudah mempunyai informasi tentang kepadatan (Fisher dan Baum dalam Gifford, 1987).

Faktor Fisik. Gove dan Hughes (1983) menemukan bahwa kesesakan di dalam rumah berhubungan dengan faktor-faktor fisik yang berhubungan dengan kondisi rumah seperti jenis rumah, urutan lantai, ukuran rumah (perbandingan jumlah penghuni dan luas ruangan yang tersedia) dan suasana sekitar rumah.

Jenis rumah di sini dibedakan atas unit hunian tunggal, kompleks perubahan dan rumah susun. Menurut beberapa penelitian didapati bahwa kesesakan yang paling tinggi ada pada rumah susun, kemudian pada kompleks perumahan dan baru setelah rumah tunggal (unit hunian tunggal).

Penelitian yang dilakukan oleh Schiffenbauer (dalam Gifford, 1987) dan Dibyo Hartono (1986) dan hubungannya dengan urutan lantai pada rumah susun, menemukan bahwa penghuni lantai yang lebih tinggi merasa tidak terlalu sesak daripada penghuni lantai bawah. Hal itu disebabkan karena semakin sedikitnya kehadiran orang asing pada lantai yang lebih tinggi, sehingga penghuni masih tetap bisa mengontrol interaksinya. Selain itu penghuni lantai atas mempunyai ruang yang lebih terang dan bisa memandang lingkungan yang lebih luas melalui pendelanya daripada penghuni lantai bawah.

Altman (1975), Bell dan kawan-kawan (1978), Gove dan Hughes (1983) menambahkan adanya faktor situasional sekitar rumah sebagai faktor yang juga mempengaruhi kesesakan. Stressor yang menyertai faktor situasional tersebut seperti suara gaduh, panas, polusi, sifat lingkungan, tipe suasana, dan karakteristik seting. Faktor situasional tersebut antara lain:

a) Besarnya skala lingkungan

Dalam suatu seting ada tanda-tanda fisik dan psikologis. Tanda-tanda fisik adalah kawasan industry, taman, jalan-jalan, dan lain-lain. Adapun tanda-tanda psikologis sseperti sikap terhadap kaum urban, privasi, dan perbandingan dengan kota-kota lain. Perasaan sesak yang terjadi pada skala kecil (tempat tinggal) sebaiknya diprediksikan dengan factor-faktor fisik dan psikologis, tetapi bila terjadi pada skala yang lebih besar akan lebih baik bila diprediksikan hanya dengan factor psikologis. Kesimpulan tersebut diambil dari hasil penelitian mengenai pengukuran pengaruh fisik dan psikologis terhadap kesesakan. Kesesakan dipengaruhi oleh skala geografis yang digunakan untuk melihat situasi itu dan perbedaan factor-faktor pada masing-masing skala yang menyebabkan individu menyimpulkan bahwa dirinya merasa sesak.

b) Variasi arsitektural

Dari penelitian yang telah dilakukan oleh Baum dan Valins (1977) ditemukan bahwa desain koridor yang panjang akan menimbulkan perilaku kompetitif, penarikan diri, rendahnya perilaku kooperatif, dan rendahnya kemampuan untuk mengontrol interaksi.

McCartey dan Saegert (dalam Gifford, 1987) menemukan bahwa bila dibandingkan dengan bangunan horizontal, kehidupan di bangunan vertical dapat menyebabkan perasaan sesak yang lebih besar dan menimbulkan sikap-sikap negative seperti kurangnya kemampuan untuk mengontrol, rendahnya rasa aman, merasa kesulitan dalam mencapai privasi, rendahnya kepuasan terhadap bangunan yang ada, dan hu bungan yang tidak erat diantara sesame penghuni.

Dari beberapa penelitian disimpulkan bahwa ada beberapa hal yang bias diasosiasikan dengan perasaan sesak yang rendah, yaiu plafon yang tinggi sehingga menimbulkan kesan luas dan menambah sirkulasi udara. Ruang yang berbentuk persegi panjang lebih baik karena tidak menimbulkan kesan kaku bila dibandingkan dengan ruang yang bujur sangkar. Perlunya jendela dan pintu yang memadai yang dapat berfungsi untuk mengalihkan kejenuhan.

Altman (1975) dan Bell dkk. (1978) menambahkan faktor situasional sebagai faktor yang mempengaruhi kesesakan. Stressor yang menyertai seperti suara gaduh, panas, polusi, sifat lingkungan (lingkungan primer, sekunder), tipe suasana (suasana kerja rekreasi), dan karakteristik seting (tipe rumah, tingkat kepadatan).

2. Pengaruh Kesesakan Terhadap Perilaku

Bila suatu lingkungan berubah menjadi sesak (crowded), sumber-sumber yang ada di dalamnya pun bisa menjadi berkurang, aktivitas seseorang akan terganggu oleh aktivitas orang lain, interaksi interpersonal yang tidak diinginkan akan mengganggu individu dalam mencapai tujuan personalnya, gangguan terhadap norma tempat dapat meningkatkan gejolak dan ketidaknyamanan (Epstein, 1982) serta disorganisasi keluarga, agresi, penarikan diri secara psikologi (psychological withdrawal), dan menurunnya kualitas hidup (Freedman, 1973).

Banyak literature dan penelitian-penelitian yang membahas tentang pengaruh kesesakan terhadap kehidupan manusia. Sampai sekarang ada beberapa ahli yang tetap beranggapan bahwa kesesakan tidak hanya berpengaruh negative bagi individu tetapi bias juga berpengaruh positif.

Freedman (1975) memandang kesesakan sebagai suatu keadaan yang dapat bersifat positif maupun negatif tergantung dari situasinya. Jadi kesesakan dapat dirasakan sebagai suatu pengalaman yang kadang-kadang menyenangkan dan kadang-kadang tidak menyenangkan. Bahkan dari banyak penelitiannya diperoleh kesimpulan bahwa kesesakan sama sekali tidak berpengaruh negatif terhadap subjek penelitian.

Pengaruh negatif kesesakan tercermin dalam bentuk penurunan-penurunan psikologis, fisiologis, dan hubungan sosial individu. Pengaruh psikologis yang ditimbulkan oleh kesesakan antara lain adalah perasaan kurang nyaman, stres, kecemasan, suasana hati yang kurang baik, prestasi kerja dan prestasi belajar menurun, agresivitas meningkat, dan bahkan juga gangguan mental yang serius.

Individu yang berada dalam kesesakan juga akan mengalami malfungsi fisiologis seperti meningkatnya tekanan darah dan detak jantung, gejala-gejala psikosomatik, dan penyakit-penyakit fisik yang serius (Worchel dan Cooper, 1983).

Worchel dan Cooper (1983) juga mengutip beberapa penelitian yang dilakukan dalam skala kecil, seperti di asrama-asrama mahasiswa dan di kampus menunjukkan bahwa klinik kesehatan di kampus lebih banyak dikunjungi oleh mahasiswa-mahasiswa yang tinggal di asrama daripada yang tinggal sendiri.

Perilaku sosial yang seringkali timbul karena situasi yang sesak antara lain adalah kenakalan remaja, menurunnya sikap gotong-royong dan saling membantu, penarikan diri dari lingkungan sosial, berkembangnya sikap acuh tak acuh, dan semakin berkurangnya intensitas hubungan sosial (Holahan, 1982)

Dari beberapa penelitian Baum dkk. (dalam Fisher dkk., 1984) menyimpulkan bahwa kepadatan sosial lebih aversif daripada kepadatan ruang. Kepadatan ruang sering memunculkan masalah hanya pada laki-laki saja karena dalam situasi padat laki-laki lebih bersikap kompetitif. Kebanaykan masalah kepadatan muncul karena terlalu banyaknya orang dalam suatu ruangan daripada masalah-masalah yang ditimbulkan karena terbatasnya ruang.

Sementara itu beberapa penelitian lain juga mencoba menunjukkan pengaruh negatif kesesakan terhadap perilaku. Fisher dan Byrne (dalam Watson dkk., 1984) menemukan bahwa kesesakan dapat mengakibatkan menurunnya kemampuan menyelesaikan tugas yang kompleks, menurunkan perilaku sosial, ketidaknyamanan dan berpengaruh negatif terhadap kesehatan dan menaikkan gejolak fisik seperti naiknya tekanan darah (Evans, 1979).

Manurut hipotesis interaksi yang tidak diinginkan (the unwanted-interaction hypothesis), efektif negatif dari kesesakan terjadi karena dalam situasi sesak kita menemui lebih banyak interaksi dengan orang lain daripada yang kita inginkan (Baum & Valine dalam Watson dkk., 1984). Sementara menurut hipotesis kehilangan kontrol (the loss of control hypothesis), akibat negatif dari kesesakan terjadi karena kesesakan menyebabkan kita kehilangan kontrol selama kejadian (Baron & Robin, 1978, Schmidt & Keating, 1979)

Dari sekian banyak akibat negatif kesesakan pada perilaku manusia, Brigham (1991) mencoba menerangkan dan menjelaskannya menjadi (1) pelanggaran terhadap ruang pribadi dan atribusi seseorang yang menekan perasaan yang disebabkan oleh kehadiran orang lain; (2) keterbatasan perilaku, pelanggaran privasi dan terganggunya kebebasan memilih; (3) kontrol pribadi yang kurang dan (4) stimulus yang berlebihan.

Walaupun pada umumnya kesesakan berakibat negatif pada perilaku seseorang, tetapi menurut Altman (1975) dan Watson dkk. (1984), kesesakan kadang memberikan kepuasan dari kesenangan. Hal ini tergantung pada tingkat privasi yang diinginkan, waktu dan situasi tertentu, serta seting kejadian. Situasi yang memberikan kepuasan dan kesenangan bisa kita temukan, misalnya pada waktu melihat pertunjukan musik, pertandingan olahraga atau menghadiri reuni atau resepsi.

Sumber : Seri Diktat Kuliah. Arsitektur, Psikologi dan Masyarakat. Hendro Prabowo. Penerbit Gunadarma.